Senin, 22 Oktober 2007

JANGAN GUNAKAN FORMALIN UNTUK PENGAWETAN PANGAN

k-04

JANGAN GUNAKAN FORMALIN UNTUK PENGAWETAN PANGAN

Oleh:Heni XC

Penggunaan bahan pengawetan yang tidak disetujui oleh Menteri Kesehatan untuk mengawetkan produk pangan masih saja digunakan oleh para produsen. Salah satunya adalah penggunaan formalin untuk memperpanjang umur simpan tahu dan bahkan disinyalir pula bahwa formalin dipergunakan untuk mengawetkan daging ayam segar oleh para pedagang.

Formalin memang terbukti mampu memperpanjang umur simpan tahu, seperti dibuktikan oleh hasil penelitian Winarno tahun 1978 berikut ini: perendaman dalam larutan formalin 2% selama 3 menit saja, terbukti mampu memperpanjang umur simpan tahu sampai 4 – 5 hari, sedangkan tahu yang direndam air hanya mampu bertahan 1 – 2 hari. Yang menjadi masalah formalin bukan merupakan BTP – Bahan Tambahan Pangan (Food additive).

Formalin adalah larutan 30 s/d 40% formaldehid dalam air. Sebenarnya formalin lebih sesuai dipergunakan sebagai antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, terutama untuk menyucikan peralatan kedokteran, dan mengawetkan sepsimen biologi, termasuk mayat manusia. Berdasarkan berbagai penelitian disimpulkan formalin tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya kanker. Padahal kesepakatan umum di kalangan para ahli pangan bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh dipergunakan dalam makanan maupun minuman. Di Amerika Serikat prinsip ini dikenal dengan nama Delaney Clause. Sebenarnya beberapa alternatif untuk pengawetan tahu telah dikembangkan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) direkomendasikan bahwa untuk mendapatkan umur simpan 5 hari atau lebih tahu dapat diawetkan dengan pengasapan (24 jam), atau direndam dalam larutan garam 4% yang diasamkan dengan asam cuka. (BW).


MENGAWETKAN DAGING TANPA FORMALIN

Proses pengasinan

Pengasinan (curing) daging merupakan salah satu cara pengawetan daging dengan melakukan pemberian bahan-bahan preservatif seperti garam (NaCl), Na-nitrat, Na-nitrit, dan bahan lain yang dapat menambah cita rasa. Curing memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing daging membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan pertama digunakan manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-produk peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam dapat mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat langsung dari bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam daging.

Nitrit dan nitrat merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite.

Di Amerika Serikat, penggunaan sodium nitrite dalam proses curing daging telah diatur secara legal oleh sebuah regulasi yang dikembangkan Departemen Pertanian AS (USDA). Pembatasan dalam penggunaan nitrit sangat diperlukan karena nitrit akan bersifat racun bila dikonsumsi dalam dosis yang berlebihan.


Prosedur

Proses curing membutuhkan garam dalam konsentrasi tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang ditambahkan dalam daging sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur dan tingkat keasaman (pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi keefektifan fungsi garam sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi garam dalam proses curing. Prosedur yang digunakan dalam proses curing daging terdiri dari 1) Metode pengasinan kering, dilakukan proses yang bersifat tradisional karena merupakan metode pengasinan yang telah berusia tua. 2) Metode pengasinan basah lazim dinamakan dengan pengasinan tangki. Metode ini memiliki kemudahan dalam pengawasan dan mempunyai risiko kerusakan yang lebih kecil. Angka kehilangan berat akan lebih sedikit dalam pengasinan basah ini.

Daging yang telah diasinkan kemudian dapat disimpan selama beberapa hari dalam suhu rendah untuk memberi waktu kepada bahan pengasin agar terdistribusi sempurna. Bahan-bahan pengasinan dapat dimasukkan ke dalam daging dengan tiga alternatif lain, yaitu dengan suntikan jarum, suntikan arteri, dan pompa setik. Di negara-negara maju, proses pengasinan sangat mudah dilakukan oleh siapa saja karena semua bahan, alat dan tempat untuk proses pengasinan tersebut dapat diperoleh dalam satu produk yang terjual secara komersial.


DIPERLUKAN ALTERNATIF PENGAWETAN MAKANAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN BERBAGAI USAHA KECIL

BANDUNG (PR)

Berbagai alternatif inovasi cara pengawetan produk makanan mendesak diperlukan di Jabar, sebagai langkah melestarikan berbagai usaha kecil makanan yang sangat bervariasi di daerahnya. Langkah tersebut, erat kaitannya melangsungkan mata pencaharian masyarakat yang banyak berusaha dari usaha produk makanan. Demikian dikatakan Ketua Jurusan Teknologi Pangan Unpas Bandung, Asep Dedi, di Bandung, Minggu (19/3).

Diakuinya, dalam kondisi tertentu, memang ada kondisi “terpaksa” dalam penggunaan sejumlah bahan pengawet. Namun, ini hanya dilakukan sesuai takaran aman, jika sejauh ini belum ada bahan pengawet pengganti lain. Asep Dedi menilai, jika dilihat dari perkembangan kondisi sekarang, berbagai inovasi pembuatan bahan pengawet yang lebih aman bagi masyarakat, sebenarnya dapat dimunculkan. Ini terutama berasal dari bahan-bahan berbasis komoditi agro, yang selama ini kurang dapat dimunculkan karena tertutup gencarnya promosi produk kimia.

Tidak ada komentar: