Minggu, 21 Oktober 2007

Mengapa harus Impor Pangan?

Mengapa harus Impor Pangan?

Oleh: Nanik Maryani*)

SMK Negeri 1 Karanganyar


Indonesia bukanlah negara yang miskin akan sumber daya baik itu alam maupun manusia. Zamrud khatulistiwa, sebuah julukan kebanggaan yang kini tinggal kenangan. Tanah yang subur dan hasil tambang yang melimpah membuat iri bangsa yang ada di dunia. Terbukti dengan banyaknya negara yang menjajah Indonesia. Tetapi, mengapa harus impor pangan?

Tanpa disadari selama ini bangsa Indonesia telah mengabaikan sumber pangan lokal. Serbuan bahan pangan impor dan kebijakan impor yang dilakukan pemerintah terhadap bahan pangan semakin memperparah kondisi ini. Bayangkan setiap tahun Indonesia harus mengimpor kedelai sebesar 45%, jagung 10% (1,2 juta ton), kacang tanah 15%, garam 50%, susu 70%, gula 30%, dan daging sapi sebesar 25% dari kebutuhan nasional. (Beritabumi, Jumat 18 Oktober 2007)

“Ini gambaran suatu bangsa yang semangat kemandiriannya menurun, sementara semangat ketergantungannya semakin meningkat”, ungkap Siswono Yudhohusodo mantan ketua HKTI.

Permasalahan pangan sepertinya tidak pernah lepas dari bangsa Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 210 juta jiwa. Ketergantungan terhadap bahan pangan-beras sebagai makanan pokok merupakan hal yang memprihatinkan. Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan rapuhnya ketahanan pangan nasional. Apalagi beberapa tahun terakhir ini terjadi defisit yang terpaksa harus ditanggulangi dengan impor. Tahun 2001 impor beras tercatat sebesar 1,35 juta ton atau setara dengan US$ 319 juta. Angka ini setiap tahunnya meningkat. Tahun 2005, prediksi impor beras naik lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun 2000, yaitu 4,5 juta ton atau setara dengan US$ 940 juta.

Jumlah impor beras yang luar biasa besar menjadi beban berat di tengah krisis yang melanda bangsa kita. Dengan kegiatan impor tersebut pada dasarnya Indonesia justru menghidupkan roda ekonomi pemasok. Sungguh ironi, sebab negara yang memiliki 40 juta penganggur dan 37,17 juta rakyat miskin ini, seharusnya membelanjakan uangnya untuk kesejahteraan rakyatnya terlebih dahulu.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki berbagai macam sumber pangan yang dapat dimanfaatkan. Kekayaan sumber pangan tersebut meliputi 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak atau minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan.

Diantara jenis tanaman yang memiliki kandungan gizi setara dengan beras, misalnya garut (Maranta arrundinaceae) dan ubi kayu (Manihot esculanta). Sehingga tanaman ini potensial untuk menstubtitusi beras.

Sejak tahun 1873 telah dikenal pola tumpang sari sebagai alternatif peningkatan produksi pertanian. Produktifitas tanaman pangan dengan pola tumpang sari tersebut cukup tinggi, misalnya untuk ubi kayu 30 s/d 60 ton per ha, ganyong 30 ton per ha, garut 40 ton per ha (bandingkan dengan beras yang hanya 4 s/d 8 ton per ha). Sementara negara kita potensial untuk ditanami pangan secara tumpang sari sebab memiliki lahan yang luas.

Jika 10% saja dari luas lahan tersebut ditanami garut maka akan menghasilkan 432 juta ton umbi garut per tahun, sementara jika ditanami ubi kayu, jumlah umbi yang dihasilkan lebih banyak.

Pemanfaatan sumber pangan nasional ini akan lebih optimal dengan adanya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pusat Penelitian Bioteknologi UPI Bandung misalnya, telah mengembangkan teknologi kultur jaringan berbagai macam tanaman pangan yang biasa ditanam di Indonesia untuk menjamin ketersediaan bibit dalam jumlah tak terbatas.

Dalam hal teknik budidaya, IPB Bogor serta berbagai lembaga lainnya seperti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Brawijaya Malang serta Universitas Siliwangi Tasikmalaya, telah mengembangkan cara-cara yang menghasilkan produktifitas tinggi dari tanaman yang dibudidayakan. Pilot Plant IPB juga telah menghasilkan berbagai macam produk olahan berbasis tanaman pangan (talas, ubi kayu, garut, dsb) dalam berbagai bentuk seperti tepung, makanan ringan, makanan bayi, dan sebagainya, yang memiliki nilai jual tinggi di pasar produk pangan. (Republika Online, 17 Oktober 2007)

Dengan memanfaatkan potensi sumber pangan lokal tersebut, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, yaitu mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu, mulai dari segi kuantitas, kualitas, dan distribusinya yang aman, merata, serta terjangkau. Bahkan dengan potensi yang demikian besar Indonesia mestinya bisa menjadi negara lumbung pangan di dunia sekaligus membantu masyarakat dunia mengatasi kekurangan pangan. Jadi, mengapa harus impor pangan?


Tidak ada komentar: